“
Tempat apa ini?”, itulah kalimat pertama yang ku ucapkan dikala saya tersadar dari hitam yang membelengguku selama ini. Ruangan ini sangat sempit, saya hampir tidak sanggup bernafas. Aku meraba di sekelilingku. Lalu, seberkas cahaya di depanku menghentikan semua kegiatan yang sedang ku lakukan. Perlahan, saya mulai berjalan menuju sumber cahaya sambil meraba tembok yang ada di sampingku. Tembok tersebut terasa hambar di
telapak tanganku.
Setelah beberapa dikala berlalu, hasilnya saya keluar dari lorong gelap tempatku berdiam selama ini. Cahaya itu tidak begitu terang, namun lebih baik daripada tanpa cahaya sama sekali. Aku berputar-putar dan menyelidiki sekelilingku. Aku mencicipi ada yang asing di daerah ini. Namun, saya tidak membiarkan perasaan itu mengganguku. Rasa ingin tahu mengalahkan semua perasaan itu.
Aku mulai berjalan lurus melewati puing-puing dari suatu bangunan. Dilihat dari gesekan dan kerikil permata yang menghiasi puing-puing bangunan tersebut, niscaya dulunya bangunan ini milik seorang darah biru atau pengusaha yang sangat kaya. Ditambah lagi banyak sekali macam jenis karya seni yang berantakan di lantai bekas bangunan itu.
Aku melanjutkan langkah kakiku. Kali ini saya berjalan menuju sebuah jalan besar yang berada sempurna di depan bekas bangunan besar ini. Saat saya datang di samping jalan besar tersebut, saya kembali dikejutkan dengan banyak sekali jenis kendaraan yang tampak membeku dengan banyak sekali posisi. “Apa sebetulnya yang telah terjadi?”, tanyaku dalam hati. Setiap orang yang berada pada posisiku dikala ini niscaya akan bertanya hal yang sama.
Semakin usang saya berjalan, saya merasa cahaya yang selama ini menemaniku semakin meredup. Lalu saya tersadar, hari akan menjelang malam. Aku harus menemukan daerah untuk berhenti sebelum malam menelanku di dalam kegelapan. Setelah berapa usang mencari, hasilnya saya menemukan sebuah gedung yang sanggup dikatakan UTUH, berbeda dari bangunan lain yang kebanyakan hanya tinggal temboknya saja.
Aku menyelidiki ke dalam rumah itu. Saat menyelidiki bangunan tersebut saya kembali mencicipi hal yang aneh, kali ini saya merasakannya di perutku. Setelah beberapa usang berfikir, hasilnya saya sadar akan sesuatu hal. “Sudah berapa usang semenjak terakhir kali saya memakan makanan?”, tanyaku dalam hati. Aku segera mencari ruangan yang berbentuk ibarat dapur. Setelah sekian usang mencari, hasilnya saya menemukannya. Memang cukup sulit mencari ruangan ini di gedung sebesar ini.
Setiap laci, rak dan lemari ku periksa dengan seksama. Namun tidak ada gejala kuliner sedikitpun. Keputusasaan melandan diriku. Diam, hanya itu yang kulakukan sampai saya mendengar suatu bunyi dari luar. Tanpa buang waktu saya segera menuju sebuah jendela yang berada sempurna di depanku. Sekelompok orang sedang berjalan menyusuri jalan besar yang kulewati tadi. Aku sangat senang dan hampir berteriak memanggil mereka sampai sesuatu terjadi.
Sekelebat bayangan menghampiri rombongan itu, dan orang-orang mulai berteriak, bunyi tangisan mulai terdengar dari rombongan itu. Orang-orang mulai berhamburan entah kemana. Ada yang bertahan sambil menembakkan timah panas ke segala arah. Walau demikian, dengan semua keributan itu, perhatianku hanya tertuju pada seseorang di rombongan itu. Wajahnya tidak jelas, mungkin alasannya ialah beliau berdiri sempurna di depan sebuah tembok yang dengan gagahnya menghalangi cahaya senja yang sudah tidak seberapa lagi untuk menerangi orang itu. Walau demikian, saya masih sanggup melihat dengan terang ketika orang itu mengangkat tangannya, sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ke arah ku, dan dengan sekejap sebuah cahaya yang sangat terang menerangi seluruh daerah itu.
Aku terhentak ke belakang, entah alasannya ialah terkejut atau memang alasannya ialah efek dari cahaya itu. Mataku berkunang-kunang, kemudian saya tidak sadarkan diri.
Saat tersadar, saya mendengar bunyi orang berbicara pelan. Dia bertanya kepadaku, “Apa kau sudah merasa baikan?”. “Ya, sudah lumyan.”, jawabku kepadanya. Setelah berbincang-bincang cukup lama, saya mengetahui nama perempuan ini ialah Mery. Mery ialah perempuan yang terlihat muda bila dibandingkan dengan usianya yang sudah paruh baya dan sangat meyenangkan untuk diajak mengobrol. Obrolan kami sempat terhenti dikala perempuan itu menanyakan namaku, yang saya sendiri tidak tahu. Namun, Mery segera memecah keheningan itu dengan berkata bahwa laki-laki dengan wajah yang tidak mengecewakan tampan dan dengan badan yang sangat proporsional akan sangat disayangkan bila tidak mempunyai nama. Aku hanya kebingungan mendengarnya menyampaikan hal tersebut. “Bagaimana kalau saya memberimu sebuah nama?”, tanya Mery kepadaku. “Ya, baiklah.”, jawabku kepadanya.
Setelah berfikir agak lama, hasilnya Mery memberikanku sebuah nama. “Dan, bagaimana? Kamu menyukainya, nak?”,tanya Mery kepadaku. “Ya, oke saya terima itu.”, jawabku kepadanya.
Lalu Mery segera menyuruhku keluar dari ruangan daerah kami dari tadi berada. Saat di luar, saya melihat pemandangan yang tampaknya sudah usang tidak kulihat. Orang-orang berjalan di sepanjang jalan besar yang terletak sempurna di depanku, melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Lalu Mery memanggil orang-orang yang menurutku aneh. Mereka semua menggunakan baju jirah dan memegang senjatanya masing-masing. Lalu, Mery mulai berbicara kepada sekumpulan orang banyak itu. Dia memperkenalkanku kepada mereka. Mery menyampaikan bahwa mungkin saya akan mendapat kembali ingatanku.
Aku sangat senang sanggup bertemu dengan Mery dan teman-teman di sini. Aku sangat ingin semoga ingatanku kembali. Namun, sesuatu di kegelapan tampaknya mencoba untuk memperingatkanku akan ancaman yang mengancam seiring dengan kembalinya ingatanku.
0 Response to "Cerita Pendek Kota Tanpa Suara"
Post a Comment